PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM Ad-Hoc (Dalam Rangka Penegakan Hukum Pelanggran HAM Berat Pada Masa Lalu).
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Prof. Koentjoro Poerbapranoto, hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya sehingga sifatnya suci. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin, dan karena itu bersifat universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari droits de l’homme (Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia hak asasi pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak-hak asasi” sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut hak-hak fundamental (civil rights). Istilah hak-hak asasi secara monomental lahir sejak keberhasilan Revolusi Perancis tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite. Namun demikian, sebenarnya masalah hak-hak asasi manusia telah lama diperjuangkan manusia di permukaan bumi.
Pemikiran tentang hak asasi manusia mendapat landasan yang kuat seusai berakhirnya Perang Dunia II, setelah dunia mengalami salah satu bentuk kekuasaan yang paling mengerikan dalam sejarahnya, yakni fasisme. Pada saat bersamaan, di berbagai belahan tanah jajahan muncul negara-negara baru yang merdeka, termasuk Indonesia. Semangat yang hadir saat itu adalah keadilan, kebebasan dan penolakan terhadap segala jenis penindasan.
Naskah Pembukaan UUD 1945 mencatat semangat tersebut dengan mengatakan “kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan karena itu penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”. Semangat yang sama juga tercermin dalam perumusan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Seperti yang sudah disebutkan, dalam Batang Tubuh UUD 1945 (sebelum diamandemen) juga dapat ditemukan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yaitu Pasal 27-31. Setelah diamandemen, tepatnya pada perubahan kedua tahun 2000, dalam UUD terdapat pasal sendiri yang memuat tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pasal 28A-J.
Dalam perkembangan selanjutnya Negara dan bangsa ini memiliki sejarah yang panjang berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia ( HAM ). Persoalan tersebut seakan – akan melekat dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia. Pembunuhan misterius ( “Petrus” ) yang marak terjadi medio 1970-an mulai diangkat untuk menjadi suatu pelanggaran HAM dalam nuansa reformasi saat ini. Kasus Marsinah, Munir, Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi I & II, kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan 13 aktivis secara paksa pada 1997-1998 berturut – turut menempati peristiwa yang akan terus mengendap sebagai ingatan sosial masyarakat. Namun ingatan tersebut coba dikaburkan oleh pihak tertentu. Pengaburan dilakukan dalam berbagai bentuk. Pertama, pengakuan sejarah versi penguasa saat itu (Orde Baru) tetap diakui kesahihannya dengan mengabaikan penderitaan korban. Kedua, kesaksian korban tidak dapat dikonfrontasikan dengan pelaku kejahatan HAM. Ketiga, ketiadaan pengakuan hukum terhadap korban sebagai korban sehingga korban mengalami viktimisasi kedua dan pelaku menikmati pengampunan ( impunity ). Ketiga cara tersebut dilakukan secara sistematis melalui proses yang tidak tersentuh hukum.
Berbagai peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat atau gross violation of human rights pada masa lalu merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) yang membedakannya dengan kejahatan biasa (ordinary crimes). di masa lalu merupakan peristiwa yang diakibatkan oleh adanya kekerasan struktural oleh penguasa melalui institusi negara. Kekerasan struktural tidak harus dalam bentuk fisik. Ia dapat diwujudkan karena sudah cukup dipersiapkan melalui media massa atau elektronik karena tenggang waktu yang cukup melalui penetrasi subkultur atau gerakan sosialisasi politik apapun yang akan menakutkan orang jika suatu ketika dituding dengan stigmatisasi yang mematikan.
Karakter khusus pelanggaran HAM berat adalah keterlibatan dan peranan aparatur negara sebagai alat kekuasaan dalam kasus pelanggaran HAM berat sangat dominan dibandingkan dengan kejahatan biasa. Berangkat dari karakteristik tersebut, pelanggaran HAM berat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan politik negara dalam mengatur hak asasi setiap warga negaranya. Dengan perkataan lain, dalam kasus pelanggaran HAM berat, warga negara dan pemerintah (penguasa) merupakan pihak dalam beperkara. Atas dasar itulah,lembaga khusus seperti Pengadilan HAM perlu dibentuk dengan diisi oleh hakim-hakim karier dan nonkarier agar terjadi keseimbangan komposisi majelis hakim dengan harapan tercapai objektivitas dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusannya.
Pembentukan Pengadilan HAM dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 memang ditujukan untuk kasus pelanggaran HAM berat setelah diundangkannya UU ini (prospektif); tidak untuk tujuan pemberlakuan retroaktif. Namun, sejalan dengan euforia reformasi yang menuntut keterbukaan dan pertanggungjawaban pemerintah dalam berbagai kasus masa lampau, termasuk kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Timor Leste, untuk memenuhi aspirasi kepastian hukum dan keadilan terhadap kasus tersebut di masa lalu,dalam UU Pengadilan HAM diatur juga tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu termasuk juga pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dari beberapa hal yang telah diuraikan di atas maka penulis merasa tertarik untuk membahas mengenai pembentukkan pengadilan HAM ad-hoc yang dipengaruhi kekuatan politis pada ranah Legislatif. Untuk itu penulis tertarik untuk membahas hal tersebut dan menuliskannya dalam bentuk makalah dengan judul PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM Ad-Hoc (Dalam Rangka Penegakan Hukum Pelanggran HAM Berat Pada Masa Lalu).
B. Perumusan Masalah
Merujuk kepada latar belakang masalah yang penulis uraikan pada bagian sebelumnya, maka dalam makalah ini penulis mengungkapkan suatu permasalahan yaitu;
Bagaimana pengaruh politik dalam pembentukan pengadilan HAM ad-hoc guna menyelsaikan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah:
Untuk mengeatahui pengaruh politik dalam pembentukan pengadilan HAM ad-hoc guna menyelsaikan kasus HAM berat pada masa lalu.
II. PEMBAHASAN
Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc Guna Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Pada Masa Lalu.
Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Definisi dalam UU tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaring pengaman (safety net) bagi para korban pelanggaran HAM di masa lalu agar para pelaku dapat diproses secara hukum. Sifat second line defense terletak pada beberapa hal dalam definisi tersebut. Pertama, penggunaan frasa perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara , yang berusaha memberikan coverage pada seluruh subyek hukum yang dimungkinkan melakukan pelanggaran HAM. Namun frasa tersebut mengandung kelemahan, yaitu tidak mencantumkan organisasi baik sipil maupun militer, privat maupun negara, kedalam subyek hukum dalam pelanggaran HAM. Kedua, penggunaan frasa “disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, berusaha memberikan coverage pada seluruh perbuatan / tindakan yang dilarang untuk dilakukan. Sehingga definisi pelanggaran HAM dalam UU tentang HAM dirasa cukup untuk memberikan perlindungan dan kepastian bagi penegakan hukum.
Pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan dua kategori tindakan yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dimaksudkan sebagai kejahatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan agama. Kekerasan struktural yang terjadi di Indonesia bukan merupakan kejahatan genosida, disebabkan oleh satu hal mendasar, yaitu perbedaan tujuan atau akibat yang dikehendaki dari perbuatan antara kekerasan struktural dengan kejahatan genosida. Kekerasan struktural murni bertujuan untuk menimbulkan rasa takut dan / atau penderitaan secara fisik dan mental sehingga subyek korban berhenti untuk melawan (to oposite) demi menjaga keberlangsungan suatu sistem kelembagaan atau rezim atas kebijakan penguasa atau lembaga tersebut. Kejahatan genosida dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, agama, dan etnis. Perbuatan tersebut didasarkan pada suatu paham dalam suatu kelompok tertentu bahwa kelompok lain, dalam konteks bangsa, ras, agama, dan etnis, harus dimusnahkan tanpa ada kaitan bahwa eksistensi kelompok yang hendak dihancurkan mengancam eksistensi kelompok yang hendak menghancurkan.
Kategori pelanggaran HAM berat yang kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia dimaksudkan sebagai salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahui ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. Berangkat dari definisi yang diberikan oleh UU Pengadilan HAM terdapat dua karakteristik yang menarik. Pertama, ciri kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan suatu perbuatan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis. Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM mendefinisikan serangan yang meluas dan sistematis adalah rangkaian perbuatan yang dilakukan sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Dengan kata lain, kejahatan terhadap kemanusiaan selalu terkait dengan adanya perencanaan yang matang yang diwujudkan dalam suatu blueprint yang dilaksanakan secara meluas, baik waktu dan tempat, serta terorganisir dengan tujuan yang jelas berdasarkan blueprint tersebut.
Oleh karena itu, kejahatan terhadap kemanusiaan mendapat perhatian yang serius oleh dunia internasional. Pembentukan ICC merupakan instrumen utama dalam “memburu” pelaku kejahatan dimana setiap bangsa berkewajiban untuk menangkap dan menghukumnya sesuai azas hostis humanis generis. Kejahatan terhadap kemanusiaan dipandang tidak saja sebagai kejahatan yang sangat kejam (barbaric crime) tetapi juga merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia dan kebudayaan dunia.
Kedua, secara tegas dinyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan ditujukan (subyek korban) kepada penduduk sipil. Dikotomi antara sipil dengan non–sipil berujung pada konsep bahwa penduduk sipil merupakan individu atau sekelompok orang unamed, tidak memiliki cukup kekuatan dan kekuasaan untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsep penduduk sipil mengarah pada ketidakseimbangan dan ketidakberdayaan antara subyek korban terhadap subyek pelaku.
Untuk mewujudkan kondisif bagi pelaksanaan hak asasi manusia yang sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, maka Undang-Undang No.39 Tahun 1999 mengamanatkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaksanakan tujuan tersebut. Pada tahun 1993 sebelum diundangkannya Undang-Undang tentang HAM, pemerintah Indonesia telah membentuk Komnas HAM dengan Keppres No.50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi Nasional HAM memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 5, yang isinya dinyatakan sebagai berikut:
a. Menyeberluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai hak asasi manusia baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat Internasioanal;
b. Mengkaji berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/ atau ratifikasinya;
c. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta pendapat, pertimbangan, dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia;
d. Mengadakan kerja sama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia.
Dalam realisasinya, keberadaan Komnas HAM tidak memiliki power dalam pelaksanaan tugasnya, yang hanya terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata.
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru menuju Orde Reformasi yang lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum dan penegakan HAM, rakyat melalui MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dengan memasukkan pasal yang khusus mengatur tentang HAM, yakni Pasal 28 UUD 1945. Disamping itu, guna melaksanakan dan merealisasikan ketentuan dalam pasal tersebut di atas.
Pemerintah juga telah mengundangkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di dalam Undang-Undang tentang HAM tersebut, gambaran kewenangan dari Komnas HAM juga telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi;
1. Fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia (Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No.39 Tahun 1999)
2. Tugas penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 18 Undang-Undang No.26 Tahun 2000).
Perubahan normatif yang terjadi dalam kewenangan dari Komnas HAM diharapkan dapat merealisasikan tugas Komnas HAM yang sebenarnya.
Di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM, seperti Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat salah satu ketentuan yang memberikan peluang dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM yang diatur dalam Pasal 43, Pasal 44 tentang Pengadilan HAM Ad-Hoc dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadarluwarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dimasukkannya ketentuan-ketentuan tersebut di atas dimaksudkan agar kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM dapat untuk diadili.
Pembentukan pengadilan HAM ad–hoc didasarkan pada Pasal. 43 Undang-Undnag tentang Pengadilan HAM. Kewenangan pengadilan HAM ad–hoc adalah memeriksa dan mengadili serta memutus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain melalui Undang–Undang tersebut diberlakukan asas pemberlakuan surut (retroaktif). Ketentuan dalam pasal tersebut ditenggarai bertentangan dengan asas legalitas yang merupakan asas utama dari pemberlakuan sebuah ketentuan pidana. Lebih mendasar, ketentutan pemberlakuan surut dapat bertentangan dengan konstitusi Indonesia bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non–derogable rights). Pemberlakuan surut tersebut dikarenakan pelanggaran HAM berat, didasarkan pada kebiasaan hukum internasional modern yang menjadi model hukum internasional setelah konferensi Roma 1998 (pembentukan ICC), merupakan ancaman atas eksistensi manusia serta kebudayaan dunia.
Pengadilan HAM ad–hoc adalah pengadilan yang dibentuk berdasarkan peristiwa tertentu atas usul DPR dengan Keputusan Presiden. Dalam proses pembentukan pengadilan HAM ad–hoc diperlukan campur tangan pihak extra–judicial yaitu DPR untuk usulan pembentukan dan Presiden untuk pengesahan pembentukan, hal ini sebagaiman yang diatur di dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan HAM. Usulan pembentukan oleh DPR memerlukan hasil penyelidikan dari Komnas HAM sebagai satu–satunya lembaga negara yang berwenang melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat.
Sebagai lembaga negara, anggota Komnas HAM dipilih dari proses seleksi di tim seleksi di bawah Presiden sebagai kepada pemerintahan dan seleksi di DPR untuk diangkat oleh Presiden sebagai kepala negara. Proses tersebut tidak dapat lepas dari pengaruh politik dalam proses seleksi di DPR yang tidak lepas dari kepentingan para anggota DPR, sehingga terjadinya kontaminasi proses hukum oleh kepentingan politik. Sebagaimana telah disebutkan, akan merubah kekuasaan hukum menjadi hukum kekuasaaan, hukum yang digunakan untuk kepentingan keberlangsungan kekuasaan.
Salah satu contoh adanya intervensi politik di dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat ini adalah kasus kekerasan Trisakti dan Semanggi pada Mei 1998 telah dinyatakan DPR bukan sebagai pelanggaran HAM berat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bakal mengangkat kembali kasus Trisakti dan Semanggi. Kasus yang sering dikenal sebagai TSS itu merupakan salah satu dugaan pelanggaran HAM berat yang penanganannya berlarut-larut. Menyeret kasus HAM berat ke Pengadilan HAM Ad-Hoc tidak semudah membalik telapak tangan. Keterlibatan lembaga politik dalam menentukan terus tidaknya suatu kasus pelanggaran HAM mutlak diperlukan. Khususnya untuk kasus yang memerlukan penerapan Undag-Undang HAM secara retroaktif. Keterlibatan DPR ini, dinilai sebagai intervensi politik terhadap kekuasaan Yudikatif, sehingga Undang-Undang Pengadilan HAM pun sampai diuji materiilkan ke Mahkamah Konstitusi.
Hasil pengujian materil Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM itu, menitikberatkan pada penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ‘dugaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal ini membicarakan tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk suatu peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU ini diundangkan.
Pasal 43 ayat (2) menyatakan ‘Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden’. Sedangkan dalam penjelasannya berbunyi ; ‘Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini’.
Kata ‘dugaan’, dalam prakteknya memang sering ditafsirkan bahwa DPR bisa melakukan penyelidikan sendiri terhadap suatu peristiwa apakah termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak. Sehingga, sering ditemukan, hasil penyelidikan dari Komnas HAM berbeda dengan hasil penyelidikan DPR. Komnas HAM bilang pelanggaran HAM, sedangkan DPR bilang tidak. Contohnya, adalah kasus kekerasan Trisakti dan Semanggi. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa kata ‘dugaan’ dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum,” karena DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Meskipun demikian menurut hemat penulis, keterlibatan institusi politik seperti DPR dalam membentuk pengadilan HAM ad hoc bisa diterima sepanjang DPR harus memperhatikan penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kekajaksaan Agung. DPR sebagai institusi politik dalam hal ini hanyalah sebagai pengesahan untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden apabila Komnas HAM sudah menyelidiki ada pelanggaran HAM berat pada masa lalu, maka DPR harus membentuk pengadilan HAM ad-hoc yang berdasarkan kepada hasil peyelidikan dari Komnas HAM dan memperhatikan locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM ini.
Ketentuan lain yang memberikan ruang atas pengaruh politik terdapat pada Pasal 47 Undag-Undang Pengadilan HAM yang menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Konsiliasi. Dengan kata lain, dibuka kemungkinan delegalisasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Penyelesaian tidak dilakukan dalam persidangan namun melalui diskusi dan kompromi kepentingan antara subyek korban dengan subyek pelaku sampai pada titik dimana subyek korban dapat menerima bahwa tindakan subyek pelaku adalah wajar saat terjadinya peristiwa tersebut. Kasus Timor – Timur merupakan contoh dari delegalisasi pelanggaran HAM berat didasarkan pada kesepakatan dua pemerintah untuk tidak meneruskan pelanggaran tersebut ke ICC dan disepakati sebagai dosa bersama yang merupakan kenangan yang harus dipendam bersama. Akan tetapi dalam perkembangannya Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Konsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 karena terkait dengan ketentuan pada Pasal 27 menyebutkan “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Ketentuan pada Pasal terebut d atas menurut Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Konstitusi, sehingga mengakibatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanyadapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad-Hoc yang hanya dapat dimungkinkan atas rekomendasi dari DPR kepada Presiden.
Pemberian ruang untuk masuknya pengaruh politik dalam pembentukan pengadilan HAM Ad–Hoc merupakan hal yang patut diapresiasi sekaligus diwaspadai. Kekerasan struktural sebagaimana telah dibahas merupakan perbuatan yang terorganisasi, bertujuan untuk menimbulkan ketakutan dan penderitaan fisik dan / atau mental pada oposisi dan minoritas untuk mencapai (meminjam istilah teori sistem) otonominya sendiri, yaitu keberlangsungan rezim yang ada. Peristiwa–peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat terjadi pada suatu masa dimana negara dan pemerintahannya berdiri totaliter terhadap rakyatnya sendiri. Rezim tidak dapat diruntuhkan dalam sesaat karena ia lebih merupakan paradigma daripada kelembagaan. Untuk dapat meruntuhkan tembok akan ketidaktersentuhan oleh hukum, dibutuhkan dukungan politik yang kuat dari eksekutif dan legislatif, baik masa kini maupun di masa mendatang. Dalam sistem demokrasi yang kita pilih, yaitu elektoral langsung, maka dukungan oleh eksekutif dan legislatif merupakan kekuatan yang dicita–citakan mampu untuk meruntuhkan tembok tersebut. Dukungan dari legislatif yang memiliki fungsi perwakilan menandakan keinginan rakyat sendiri untuk menyelesaikan ingatan sosial yang terus membelenggu. Adanya ruang untuk masuknya pengaruh politik secara signifikan akan menentukan tercapainya tujuan dari penindakan pelanggaran HAM berat di masa lalu, yaitu memberikan rasa keadilan pada korban dan juga masyarakat itu sendiri.
Keterkaitan hukum dengan politik saling mempengaruhi satu sama lainnya. Hukum diyakini tidak hanya sekadar norma tertutup (closed code normative), ia mampu mengikat perilaku sehingga dengan adanya kekuasaan, hukum dapat menjadi instrumen yang mengikat. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik. Hukum memerlukan politik untuk menjadi instrumen yang mengikat perilaku (terutama dalam tradisi kontinental yang kental dengan positivisme). Di lain pihak, politik memerlukan hukum sebagai dasar eksistensinya dalam sebuah negara hukum (rechstaat) dan sebagai instrumen untuk membawa masyarakat ke arah yang dikehendaki oleh penguasa (law as a tool of social engineering).
III.PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut :
Kekerasan struktural yang pernah terjadi di Indonesia merupakan pelanggaran HAM berat yang karenanya dalam penegakan hukum tidak memiliki daluwarsa dan dapat diberlakukan surut. Pengaruh politik dalam pembentukan pengadilan HAM Ad–Hoc untuk memeriksa dan mengadili serta memutus dugaan pelanggaran HAM berat sangat signifikan. Sangant dibutuhkan dukungan politik (political will) yang kuat untuk menuntaskan ingatan sosial yang kelam untuk memenuhi rasa keadilan korban dan masyarakat. Sifat pengaruh politik secara normatif dalam pembentukan pengadilan HAM ad–hoc berdasarkan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM adalah netral. Pelaksanaan ruang untuk pengaruh politik tergantung dari kebijakan penguasa.
B. Saran
Political will dari lembaga Legilatif dan Eksekutif sangat dibutuhkan dalam pembentukan pengadilan HAM Ad-Hoc demi peneyelesaian kasus pelanggrana HAM berat masa lalu. Sehingga dengan adanya ruang untuk masuknya pengaruh politik secara signifikan akan menentukan tercapainya tujuan dari penindakan pelanggaran HAM berat di masa lalu, yaitu memberikan rasa keadilan pada korban dan juga masyarakat itu sendiri. Dan tentu saja harus tetap berdasarkan kepada hasil peyelidikan dari Komnas HAM dan memperhatikan locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM.
Leave a Reply